Senin, 23 September 2013

Budaya, Gereja, Orang Muda dan Kontrol Sosial

Bagi Fr. Wolfram Ignatius Nadeak  budaya itu adalah sebuah tatanan kebiasaan yang dihidupi oleh sekelompok manusia atau masyarakat tertentu sedangkan kebudayaan adalah tatanan (bisa juga sebuah karya seni dll) yang berasal dari peradaban suatu masyarakat atau bangsa tertentu.
Pada prinsipnya budaya maupun kebudayaan adalah baik terutama bagi mereka yang menghidupinya (di mana budaya itu lahir). Akan tetapi, menurut Frater Keuskupan Padang ini, tidak jarang kita temui budaya tertentu terkadang berseberangan dengan budaya tertentu.
Nah, apakah dengan demikian budaya itu negatif? “Budaya itu tidak negatif karena budaya itu lahir dari daya cipta peradaban tertentu untuk masyarakat tertentu. Sebuah budaya menjadi negatif ketika dalam penerapannya budaya tersebut banyak dipengaruhi dan bercampur dengan unsur-unsur eksternal. Misalnya, budaya berpakaian yang menjadi tidak anggun atau elegan karena dipengaruhi oleh ekonomi, pasar, dll yang membuat pakaian kehilangan hakekatnya.
Dalam hal ini “budaya” yg muncul adalah penyimpangan dari hakekat yg asali” ujar frater yang sekarang sedang menjalani masa Tahun Orientasi Pastoralnya di Paroki Katedral, St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus ini.
Lebih lanjut alumni SMA N 2 Pekanbaru ini mengatakan, orang muda adalah penerima budaya dari para pendahulunya (yang lebih tua) yang sebagai pemberi nilai budaya itu sendiri. Diharapkan, dengan kritisisme dan daya jelajah intelektual yang serba terbuka, orang muda sebenarnya dapat menjadi filter, pemulih, pemurni atau penyaring sebuah budaya tertentu dengan catatan mereka memiliki pemahaman yang mendasar mengenai budaya itu. Misalnya, orang Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah (karena budaya kita memang begitu). Untuk orang muda mereka harus tahu mengapa kita orang Indonesia ramah. Pertama-tama jawaban atas pertaanyaan ini akan mereka peroleh dalam keluarga dan sekolah serta lingkungan masyarakat.
Persoalannya, sejauh ini, orang muda seakan-akan kehilangan kendali. Peran keluarga, sekolah, agama dan lingkungan masyarakat sebagai wadah kontrol sosial terhadap perkembangan orang muda seolah-olah gagal. Cita-cita menjadikan orang muda sebagai manusia berbudaya masih jauh dari harapan. Manusia berbudaya berarti manusia yang mampu menghidupi dan mempertanggungjawabkan apa yg telah diterimananya sebagai bagian dari dirinya. Orang muda adalah manusia yang berbudaya sejauh mereka memahami apa itu budaya.
Pada prinsipnya, budaya, Gereja, dan orang muda bukan sesuatu yang harus dinilai tetapi sebuah kontrol sosial dan alat sosial untuk membawa manusia pada sebuah budaya yang luhur dalam masyarakat, Gereja maupun lingkungan orang muda itu sendiri. Kecenderungan negatif dikalangan orang muda zaman ini adalah dampak dari melemahnya kontrol sosial atas nilai penghayatan budaya itu sendiri. Ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja. Dari sisi budaya, Gereja bisa dikatakan sebagai kumpulan orang-orang yang memiliki sebuah budaya, budaya ber-Tuhan dimana di sana bersumber nilai-nilai luhur kehidupan.

Sekarang pertanyaannya, apa yang seharusnya dibuat oleh Gereja?. Hemat saya, yang pertama-tama perlu ditingkatkan secara serius pendidikan keluarga yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang ada dalam Gereja itu sendiri. Dari sana akan terbentuk sebuah budaya yang matang yang mampu menjadi garam dan terang seperti yang Kristus kehendaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites