Cerpen: Dendi Sujono
Ia berdiri
agak jauh dari mereka. Dari ujung jembatan peninggalan zaman kolonial itu ia
mengamati tingkah sebagian remaja seusianya bermain. Tak ada sedikitpun niatnya
bergabung, meskipun beberapa orang melambai-lambaikan tangan ke arahnya,
memanggil dia untuk bergabung. Ia tidak menyahut, tak juga memberikan ekspresi
yang menandakan bahwa ia akan bergabung atau tidak. Ia hanya berdiri dan
tersenyum, kian merapatkan sandarannya ke tiang beton yang catya mulai memudar
dan dipenuhi corat-coret di sana-sini.
Lalu gerimis
mulai turun, kawan-kawannya tak juga beranjak pergi. Mereka semakin riang
menikmati serbuk-serbuk hujan yang perlahan kian deras. Mereka malah
berteriak-teriak, bermain kejar-kejaran, menikmati kesenangan mereka sendiri
dan tak peduli hiruk pikuk manusia dan kendaraan yang justru berlari
menghindari hujan. Suasana jembatan kian tak beraturan, hujan kian deras, namun
tak membuat remaja-remaja itu merasa untuk pergi.
Ia perlahan
menarik sandarannya, manarik bajunya ke kepala, tanpa menoleh berlari menjauh
kian lama kian cepat, berirama dengan titik-titik hujan yang kian deras. Ia
terus berlari, mencari teduh di seputar
emperan toko tak jauh dari jembatan tua. Merasa aman ia duduk, memperhatikan
cipratan air di jalanan yang dilindas kendaraan.
Semakin lama
ia di sana, suara ayahnya yang barusan terngiang kembali. Bayangan wajah
ayahnya yang keras itu seakan mulai menyata di hadapannya, berdiri tegap dan
menantangnya.
“Sekali lagi
kau ikut kawan-kawanmu ke jembatan itu, ku gantung kau” bentak ayahnya dengan
suara keras. Ia gemetar. Ibunya yang tak jauh dari sana hanya menatapnya iba,
melihat anak lelaki satu-satunya itu ketakutan.
“Ke sinilah
Greg” sahut ibunya memanggil beberapa saat setelah ayahnya pergi. “kapan kamu
bisa taat sama orang tua mu? Lihatlah ibumu nak, tak juga bertobat kau, kemarin
baru di pukul hari ini mau juga kamu diperlakukan seperti itu. Kamu sudah SMA,
sudah remaja, sudah besar…” lanjut ibunya dengan mendesah lemah. Gregor hanya
tertegun. Tak sepatah kata pun ia katakana, batinnya masih tak nyaman dan
tenang.
Semenjak
ayahnya di rumah, ia seakan menikmati neraka. Ia marasa kebebasan masa
remajanya terenggut oleh sikap dan ego ayahnya. Sebelum ini ayahnya bekerja di
luar pulau. Kini ayahnya pindah ke kota di mana mereka tinggal. Kepindahan
ayahnya malah menjadi masalah buatnya. Semenjak kecil Gregor sudah dibina
secara keras oleh ayahnya. Apa lagi ia sendiri laki-laki yang mempunyai 3 orang
adik perempuan. Ayahnya ingin Gregor menjadi lelaki yang ulet dan bertanggung
jawab dalam keluarga. Kemauan ayahnya ini disebabkan oleh kerjanya yang selalu
ke luar kota, pulau bahkan lintas negara.
“Kemungkinan
aku tak bisa bergabung dengan kalian lagi” kata Gregor suatu hari di sekolah
pada kawan-kawan sepermainannya.
“Kenapa tu?”
tanya kawan-kawannya.
“Aku tahu”
ujar salah satu kawannya sementara yang lainnya menatapnya keheranan. Gregor
hanya tertegun.
“Pak
Jenderal sudah pulang bukan?” kawannya melanjutkan sembari menatap Gregor
dengan senyum kecil.
“Kira-kira
seperti itulah” ujar Gregor sambil berlalu disaksikan kawan-kawannya yang
bengong sendiri.
Gregor tak
ingin menyakiti hati para sahabat sepermainan semenjak kecil itu. Tetapi apa
daya, ia mesti membuat keputusan sebelum ayahnya bertindak lebih tegas lagi
terhadap tingkahnya.
Masih lekat
amarah ayahnya beberapa waktu lalu. Hampir pingsan ia demi mendengar gelegar
suara ayahnya itu.
“Baru sehari
aku di sini, lihat apa kata tetangga, guru-guru, pastor dan orang-orang semua
tentangmu. Mau jadi apa kau nanti kalau sekarang saja sudah jadi penjahat!!
Lihat aku!!” ayahnya berteriak tepat di depan wajahnya. Matanya melotot lebar,
wajahnya membesar dan merah, seakan-akan ada api ke luar dari mulutnya ketika
berbicara. Otot-otot lehernya tampak menegang, urat tangannya seakan-akan
melonjak dan menegang keluar dari daging tubuh ayahnya. Gregor gemetar, mulai
pusing tapi ia tida pingsan. Meski demikian, ayahnya tak sedikitpun menyentuh
tubuhnya dengan kasar. Bahkan tak pernah di dengarnya ayahnya memakinya
sedikitpun. Ada satu rasa di tubuh Gregor, tentang perhatian ayahnya.
Pagi tadi
ayahnya marah lagi.
“Aku ke
jembatan Cuma ingin bilang tak akan gabung sama mereka lagi pa…” Gregor coba
memberi alas an pada ayahnya.
“Berani kau
jawab aku sekarang? Ha!!” suara ayahnya meninggi “ada kau bilang samaku?! Kau
tunggu tetangga bilang samaku, kalu kau begini, begitu dan sebagainya?!”
“Pa!!”
tiba-tiba Gregor dengan suara gemetar berteriak kea rah ayahnya “aku dah rela
kehilangan kawan-kawanku. Tapi aku mau ayah juga mau mendengarkan aku. Ayah
marah aku mengerti, tetapi bisakah ayah juga menyediakan waktu untuk membiarkan
aku berbicara? Selama ini ayah marah lalu pergi, marah lagi dan pergi. Adakah
ayah menyisihkan waktu tuk berbicara?”
Kini ayahnya
berganti diam. Hanya dengus nafas entah terdengar dari dua tubuh ayah dan anak
itu. Ibunya yang tak banyak kata menyimak dengan air mata berlinang dari dapur.
Lalu, perlahan ayahnya mendekati anak satu-satunya itu. Tangannya gemetar,
menyentuh pelan bahu anaknya…
“Maafkan
ayah…” ucapnya lirih. Detik selanjutnya mereka larut dalam tangis dan ucapan
kata maaf yang tersedak. Dari jauh ibu dan adik-adiknya menyaksikan drama baru
kehidupan itu.
Gregor
terkejut ketika raungan sirene mobil ambulans lewat. Hujan telah reda.
Seharusnya ia mesti ke Gereja sekarang. Ada latihan petugas lector untuk misa
besok. Dengan segera ia berlari, di dapatinya beberapa orang sudah berada di
Gereja.
“Kukira kamu
tidak datang” ujar pastor parokinya dengan nafas lega. Gregor hanya tersenyum.
Waktu baru saja berlalu belum begitu lama ketika ayahnya tiba-tiba datang dan
menyerobot masuk. Ia menarik Gregor dan memeluknya dengan erat. Semua yang ada
di dalam ruangan gereja itu terpana dan heran.
“Maaf
pastor, terima kasih buat Tuhan akhirnya anakku berubah dan ia turut merubah
aku. Kukira ia ke jembatan tadi. Barusan terjadi kecelakaan berat di sana,2
kawannya tewas mengenaskan sedangkan 2 lainnya kritis di rumah sakit…” ayahnya
masih melanjutkan bercerita di tengah perasaan harus bercampur terkejut pada
wajah pastor dan beberapa umat. Sementara Gregor yang tak mampu menahan rasa
kalutnya keluar, tersedak di sudut gereja. Masih teringat raungan sirene
barusan yang mengejutkannnya. Masih ingat juga wajah kawan-kawannya yang
mengajak tadi..ah mereka.
Tiga hari
kemudian ia meminta izin pada ayah dan ibunya untuk pergi ke jembatan.
“Sekedar
melepas rasa kehilangan pak…” pintanya pelan pada ayahnya.
Keadaan
masih ramai dengan kendaraan ketika ia sampai di jembatan tua itu. Tak terlihat
lagi sisa atau bekas kecelakaan yang Nampak. Semuanya hilang terhapus derai air
hujan yang deras dan lindas roda kendaraan yang tamak. Bising kendaraan yang
lewat seolah aneh di telinganya. Tak ada lagi teriak dan sorak kawan-kawannya
yang mengajaknya bermain.
Senja mulai
turun, melumat seluruh kota dan tempatnya berdiri. Tempat di mana dulu mereka
biasa mangkal dan menghabiskan waktu bercerita dan bermain. Di bawah sana, air
bergemercik tapi sampai ke telinga Gregor seperti derit roda kendaraan dan
teriakan remaja yang semakin lama semakin pelan, semakin jauh lalu menghilang…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar