Minggu, 08 September 2013

KEHILANGAN

Cerpen: Dendi Sujono

Ia berdiri agak jauh dari mereka. Dari ujung jembatan peninggalan zaman kolonial itu ia mengamati tingkah sebagian remaja seusianya bermain. Tak ada sedikitpun niatnya bergabung, meskipun beberapa orang melambai-lambaikan tangan ke arahnya, memanggil dia untuk bergabung. Ia tidak menyahut, tak juga memberikan ekspresi yang menandakan bahwa ia akan bergabung atau tidak. Ia hanya berdiri dan tersenyum, kian merapatkan sandarannya ke tiang beton yang catya mulai memudar dan dipenuhi corat-coret di sana-sini.
Lalu gerimis mulai turun, kawan-kawannya tak juga beranjak pergi. Mereka semakin riang menikmati serbuk-serbuk hujan yang perlahan kian deras. Mereka malah berteriak-teriak, bermain kejar-kejaran, menikmati kesenangan mereka sendiri dan tak peduli hiruk pikuk manusia dan kendaraan yang justru berlari menghindari hujan. Suasana jembatan kian tak beraturan, hujan kian deras, namun tak membuat remaja-remaja itu merasa untuk pergi.
Ia perlahan menarik sandarannya, manarik bajunya ke kepala, tanpa menoleh berlari menjauh kian lama kian cepat, berirama dengan titik-titik hujan yang kian deras. Ia terus berlari, mencari teduh  di seputar emperan toko tak jauh dari jembatan tua. Merasa aman ia duduk, memperhatikan cipratan air di jalanan yang dilindas kendaraan.
Semakin lama ia di sana, suara ayahnya yang barusan terngiang kembali. Bayangan wajah ayahnya yang keras itu seakan mulai menyata di hadapannya, berdiri tegap dan menantangnya.
“Sekali lagi kau ikut kawan-kawanmu ke jembatan itu, ku gantung kau” bentak ayahnya dengan suara keras. Ia gemetar. Ibunya yang tak jauh dari sana hanya menatapnya iba, melihat anak lelaki satu-satunya itu ketakutan.
“Ke sinilah Greg” sahut ibunya memanggil beberapa saat setelah ayahnya pergi. “kapan kamu bisa taat sama orang tua mu? Lihatlah ibumu nak, tak juga bertobat kau, kemarin baru di pukul hari ini mau juga kamu diperlakukan seperti itu. Kamu sudah SMA, sudah remaja, sudah besar…” lanjut ibunya dengan mendesah lemah. Gregor hanya tertegun. Tak sepatah kata pun ia katakana, batinnya masih tak nyaman dan tenang.
Semenjak ayahnya di rumah, ia seakan menikmati neraka. Ia marasa kebebasan masa remajanya terenggut oleh sikap dan ego ayahnya. Sebelum ini ayahnya bekerja di luar pulau. Kini ayahnya pindah ke kota di mana mereka tinggal. Kepindahan ayahnya malah menjadi masalah buatnya. Semenjak kecil Gregor sudah dibina secara keras oleh ayahnya. Apa lagi ia sendiri laki-laki yang mempunyai 3 orang adik perempuan. Ayahnya ingin Gregor menjadi lelaki yang ulet dan bertanggung jawab dalam keluarga. Kemauan ayahnya ini disebabkan oleh kerjanya yang selalu ke luar kota, pulau bahkan lintas negara.
“Kemungkinan aku tak bisa bergabung dengan kalian lagi” kata Gregor suatu hari di sekolah pada kawan-kawan sepermainannya.
“Kenapa tu?” tanya kawan-kawannya.
“Aku tahu” ujar salah satu kawannya sementara yang lainnya menatapnya keheranan. Gregor hanya tertegun.
“Pak Jenderal sudah pulang bukan?” kawannya melanjutkan sembari menatap Gregor dengan senyum kecil.
“Kira-kira seperti itulah” ujar Gregor sambil berlalu disaksikan kawan-kawannya yang bengong sendiri.
Gregor tak ingin menyakiti hati para sahabat sepermainan semenjak kecil itu. Tetapi apa daya, ia mesti membuat keputusan sebelum ayahnya bertindak lebih tegas lagi terhadap tingkahnya.
Masih lekat amarah ayahnya beberapa waktu lalu. Hampir pingsan ia demi mendengar gelegar suara ayahnya itu.
“Baru sehari aku di sini, lihat apa kata tetangga, guru-guru, pastor dan orang-orang semua tentangmu. Mau jadi apa kau nanti kalau sekarang saja sudah jadi penjahat!! Lihat aku!!” ayahnya berteriak tepat di depan wajahnya. Matanya melotot lebar, wajahnya membesar dan merah, seakan-akan ada api ke luar dari mulutnya ketika berbicara. Otot-otot lehernya tampak menegang, urat tangannya seakan-akan melonjak dan menegang keluar dari daging tubuh ayahnya. Gregor gemetar, mulai pusing tapi ia tida pingsan. Meski demikian, ayahnya tak sedikitpun menyentuh tubuhnya dengan kasar. Bahkan tak pernah di dengarnya ayahnya memakinya sedikitpun. Ada satu rasa di tubuh Gregor, tentang perhatian ayahnya.
Pagi tadi ayahnya marah lagi.
“Aku ke jembatan Cuma ingin bilang tak akan gabung sama mereka lagi pa…” Gregor coba memberi alas an pada ayahnya.
“Berani kau jawab aku sekarang? Ha!!” suara ayahnya meninggi “ada kau bilang samaku?! Kau tunggu tetangga bilang samaku, kalu kau begini, begitu dan sebagainya?!”
“Pa!!” tiba-tiba Gregor dengan suara gemetar berteriak kea rah ayahnya “aku dah rela kehilangan kawan-kawanku. Tapi aku mau ayah juga mau mendengarkan aku. Ayah marah aku mengerti, tetapi bisakah ayah juga menyediakan waktu untuk membiarkan aku berbicara? Selama ini ayah marah lalu pergi, marah lagi dan pergi. Adakah ayah menyisihkan waktu tuk berbicara?”  
Kini ayahnya berganti diam. Hanya dengus nafas entah terdengar dari dua tubuh ayah dan anak itu. Ibunya yang tak banyak kata menyimak dengan air mata berlinang dari dapur. Lalu, perlahan ayahnya mendekati anak satu-satunya itu. Tangannya gemetar, menyentuh pelan bahu anaknya…
“Maafkan ayah…” ucapnya lirih. Detik selanjutnya mereka larut dalam tangis dan ucapan kata maaf yang tersedak. Dari jauh ibu dan adik-adiknya menyaksikan drama baru kehidupan itu.
Gregor terkejut ketika raungan sirene mobil ambulans lewat. Hujan telah reda. Seharusnya ia mesti ke Gereja sekarang. Ada latihan petugas lector untuk misa besok. Dengan segera ia berlari, di dapatinya beberapa orang sudah berada di Gereja.
“Kukira kamu tidak datang” ujar pastor parokinya dengan nafas lega. Gregor hanya tersenyum. Waktu baru saja berlalu belum begitu lama ketika ayahnya tiba-tiba datang dan menyerobot masuk. Ia menarik Gregor dan memeluknya dengan erat. Semua yang ada di dalam ruangan gereja itu terpana dan heran.
“Maaf pastor, terima kasih buat Tuhan akhirnya anakku berubah dan ia turut merubah aku. Kukira ia ke jembatan tadi. Barusan terjadi kecelakaan berat di sana,2 kawannya tewas mengenaskan sedangkan 2 lainnya kritis di rumah sakit…” ayahnya masih melanjutkan bercerita di tengah perasaan harus bercampur terkejut pada wajah pastor dan beberapa umat. Sementara Gregor yang tak mampu menahan rasa kalutnya keluar, tersedak di sudut gereja. Masih teringat raungan sirene barusan yang mengejutkannnya. Masih ingat juga wajah kawan-kawannya yang mengajak tadi..ah mereka.
Tiga hari kemudian ia meminta izin pada ayah dan ibunya untuk pergi ke jembatan.
“Sekedar melepas rasa kehilangan pak…” pintanya pelan pada ayahnya.
Keadaan masih ramai dengan kendaraan ketika ia sampai di jembatan tua itu. Tak terlihat lagi sisa atau bekas kecelakaan yang Nampak. Semuanya hilang terhapus derai air hujan yang deras dan lindas roda kendaraan yang tamak. Bising kendaraan yang lewat seolah aneh di telinganya. Tak ada lagi teriak dan sorak kawan-kawannya yang mengajaknya bermain.

Senja mulai turun, melumat seluruh kota dan tempatnya berdiri. Tempat di mana dulu mereka biasa mangkal dan menghabiskan waktu bercerita dan bermain. Di bawah sana, air bergemercik tapi sampai ke telinga Gregor seperti derit roda kendaraan dan teriakan remaja yang semakin lama semakin pelan, semakin jauh lalu menghilang… 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites