*) Robby Simamora
Saya memang tidak begitu dekat dengan kehidupan para pastor tapi saya meneladani mendiang pastor Mangunwijaya (romo Mangun) dan Bapa Suci Yohanes Paulus I (Albino Luciani, biasa dipanggil Papa Luciani). Saya juga pernah berdiskusi secara mendalam bersama pastor-pastor yang saya jumpai.
Saban hari saya mengikuti sebuah rapat persiapan pertemuan imam projo se-Sumatera yang akan diadakan di Padang pada bulan September nanti. Dalam benak saya, pertemuan ini adalah sebuah momen akbar bagi para imam projo di pulau Sumatera dan kesempatan bagi mereka untuk mengaktualisasikan diri, saling berbagi pengalaman, dan refleksi kolektif kehidupan imamat. Bagi umat, pertemuan itu menjadi jendela untuk melihat lebih dekat para imam sekaligus menjadi kesempatan untuk berdiskusi dan belajar. Yang jelas, bagi saya, itu adalah momen emas bagi pertumbuhan spritualitas kita.
Rapat kali itu membahas tema dan hal-hal yang bersifat teknis seperti jadwal dan rangkaian acara serta tempat penginapan para pastor. Seorang pastor yang hadir dari Riau ingin tempat penginapan diselenggarakan di rumah saja (Katedral dan Keuskupan) dan kalau tidak cukup baru di tempat lain. Pastor dari keuskupan setuju. Panitia menawarkan alternatif lain seperti di hotel. Hitung-hitungan harga dan fasilitas pun dimulai. Sampai di sini, rapat dilanjutkan bulan depan. Namun sayang, mengenai tema yang diusulkan pastor tidak begitu disinggung pada rapat. Padahal inilah yang menjadi inti kegiatan akbar ini. Hati saya pun gundah.
Kesuksesan sebuah kegiatan memang tidak bisa dilepaskan dari persiapan teknis yang matang. Namun, apalah artinya jika para pihak tidak menangkap roh dan esensi dari kegiatan tersebut. Kita sering terjebak pada rutinitas dan hal-hal teknis yang mengkerdilkan roh dan pesan-pesan dari kegiatan kita. Jika kita tidak kritis dan sejenak berefleksi (menghayati hidup, meminjam istilah romo Mudji Sutrisno), rutinitas tanpa disadari dapat membelenggu kita pada pola pikir dan kehidupan kita sendiri. Sehingga kita terbiasa dengan sikap yang hanya mementingkan diri sendiri dan keluarga.
Itu adalah penyumbang terbesar konsumerisme dan kemewahan yang dikutuk Bapa Suci Benediktus pada perayaan natal tahun lalu yang dipenuhi manusia-manusia penggila belanja. Jangan sampai pertemuan para imam pada September nanti hanya menjadi rutinitas pertemuan atau seremoni belaka hanya karena kita berjibaku dengan hal-hal teknis. Saya ingin menangkap roh pertemuan itu.
Kick Andy Heroes tahun ini dipenuhi oleh mereka yang dalam keterbatasannya mampu memberikan pelayanan bagi pelestarian lingkungan dan orang-orang miskin. Di dapur Kick Andy Heroes telah bekerja tiga orang juri yang menyeleksi para kandidat. Itu adalah pekerjaan yang tidak gampang karena mereka disuruh memilih yang terbaik dari putera-puteri Indonesia yang menyebarkan kebaikan bagi orang lain. Satu di antara juri itu adalah romo Mudji Sutrisno.
Seorang pastor di Kalimantan memiliki kegiatan mendampingi dan mengorganisir masyarakat adat yang tergusur dari tanah ulayatnya oleh pengusaha-pengusaha sawit. Di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, beberapa tahun yang lalu, seorang pastor mendampingi masyarakat yang dirampas tanahnya oleh perkebunan sawit.
Di Pesisir Selatan, seorang romo harus bergerilya dari rumah ke rumah untuk menyelenggarakan misa karena mendapat penolakan dari warga setempat.
Saya juga teringat Mgr. Soegijapranata yang begitu dihormati bangsa ini karena perjuangan damainya untuk kemerdekaan Indonesia. Pertengahan tahun ini kita bisa menonton keteladanannya dalam sebuah film layar lebar yang digawangi sineas Garin Nugroho.
Belum lagi perjuangan romo Mangun mewujudkan pendidikan humanis bagi semua anak-anak tanpa pandang agama dan membela mereka yang ditindas rezim orde baru. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojoyanto adalah satu dari sekian aktivis yang terinspirasi oleh romo Mangun dan romo-romo aktivis kemanusiaan serta pemberdaya masyarakat miskin yang bekerja dalam keheningan dan kesepian.
Lalu, pastor-pastor yang mengajar di universitas-universitas Katolik di Jawa juga diminta mengajar di universitas-universitas Islam dan negeri. Di Padang, nampaknya ini masih menjadi pemandangan yang langka. Padahal, di kampus tempat saya kuliah, mata kuliah filsafat dan etika, sering ditangani oleh dosen-dosen yang tidak berkopeten di bidang itu.
Saya teringat dengan perkataan Bapak Arif Rusdi Rusli ketika menghadiri SAGKI lalu di Jakarta. Beliau menegaskan agar umat Katolik tidak menutup diri dari masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitarnya. Itu berarti ajakan bagi kita untuk duduk semeja dengan saudara-saudara yang berasal dari agama lain untuk membahas masalah-masalah sosial di sekitar kita, di kota kita. Sehingga ketika isu-isu yang mengintimidasi pelayanan gereja, kita tidak akan kebakaran janggut jika sebelumnya kita membina hubungan yang baik dengan seluruh lapisan masyarakat.
Dan, saya berharap pada pertemuan para imam diosesan nanti, hubungan sosial gereja dengan masyarakat luas dapat didiskusikan lebih lanjut terutama dalam rangka penyegaran Ajaran Sosial Gereja, selain tentunya, penyegaran hubungan imam dengan umat juga. Semoga!
*) Anggota PMKRI "St Anselmus" Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar