Minggu, 27 Mei 2012

Kehidupan Dialogal, Tak Bisa Ditunda!


*) Sukmawati Novi Siregar

Perspektif Historis
Menarik mengikuti perjalanan bangsa Indonesia terutama kaitannya dengan persatuan. Tiada henti memperbincangkan fakta keberagaman, yang makin tampak menyeruak di jaman ini, yang dikenal dengan jaman reformasi. Masa sekarang tidak ada kata malu untuk menyatakan posisi antagonistik menghadapi keberagaman bahkan keberanian untuk melawan fakta tersebut, melalui penyeragaman dalam banyak hal, dilakukan dengan cara yang tidak humanis. Sementara keberagaman telah ada sejak lama.


Dalam perspektif historis, Indonesia didirikan bukan untuk atau karena satu golongan tertentu. Kunci pokok yang mempersatukan bangsa ini bukanlah kesamaan budaya, agama, dan etnisitas, melainkan karena adanya Negara Persatuan yang menampung cita-cita politik bersama, mengatasi segala paham perseorangan dan golongan. Dalam konsep Negara Persatuan, negara menjadi alat pemersatu bangsa, warisan historis tradisi kekuasaan dan kebudayaan sebelumnya dari berbagai kemajemukan etnis, budaya, dan agama dipertahankan. Oleh karena itu, para pendiri bangsa (telah) dengan seksama menentukan Pancasila sebagai dasar negara, sarana yang tepat dalam mengakomodir keberagaman. 

Selanjutnya, keharmonisan dan kerukunan tercipta dengan masyarakat memahami arti pentingnya humanitas dalam keberagaman. Konteks Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila bukan hanya menggali pengetahuan dalam tataran ritual atau perayaan keagamaan semata, namun juga nilai-nilai profetis agama yang inklusif, membebaskan, serta toleran yang memberi semangat gotong royong dalam rangka mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara secara etis dan humanis. Dengan konteks Ketuhanan yang demikian, Pancasila bisa memberikan landasan moral bagi sistem demokrasi yang hendak dikembangkan dalam jaman reformasi. Sila pertama ini dapat menjadi roh penggerak dalam realitas keberagaman.

Belajar melalui perjalanan hidup Yesus, Ia berdialog dan berinteraksi dengan banyak orang serta dari kalangan mana pun, bukan hanya mereka orang Yahudi namun juga Saduki, Farisi, Zelot, Kanaan, Gerasa, Samaria, dan lainnya. Ia berinteraksi dengan siapapun, tanpa memandang muka, dengan ahli taurat, penjala ikan, pemungut cukai, imam besar, hamba seorang perwira, bahkan sampai penguasa di masa itu. Interaksi-Nya dilandasi oleh kasih, seperti yang Ia sampaikan mengenai hukum yang terutama, yakni mengasihi Allah dan sesama manusia (Mrk 12:33).

Gereja dalam Konsili Vatikan II menempatkan dialog menjadi salah satu kunci utama dalam masyarakat yang majemuk. Dalam Gaudium et Spes diungkapkan dengan gamblang bagaimana Gereja (umat Allah beriman) masuk dalam dialog dengan dunia. Dalam semangat ensiklik Ecclesiam Suam (21 November 1964) Gereja diminta untuk “menjalin dialog keselamatan tanpa batas dan tidak menunggu terlebih dahulu untuk diundang”. Gereja tidak menyangkal keberagaman dan mengajak umat beragama lain untuk bersama-sama membangun suatu dialog keselamatan. Hal ini terdapat dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, secara lebih eksplisit hal ini ditegaskan dalam dokumen Nostra Aetate (28 Oktober 1965).

Melalui dokumen-dokumen tersebut, ingin disampaikan bahwa (1) Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang benar dan suci dalam agama-agama lain; (2) Dialog Kristen-Islam pada tempat pertama adalah dialog antarorang-orang yang beriman. Gereja Katolik secara resmi mengungkapkan penghargaannya kepada umat Islam, yang menyembah Allah yang Maha Esa; (3) Dialog Kristen-Yahudi didasarkan pertama-tama pada jalinan keterkaitan umat Perjanjian Baru (Gereja) secara rohani dengan keturunan Ibrahim (Yahudi). Gereja Katolik menguraikan pandangan positif yang pada intinya ingin menghapus ungkapan bahwa seakan-akan umat Yahudi ditolak Allah. Konsili ingin memupuk dan menganjurkan pengenalan dan penghargaan satu sama lain dalam dialog persaudaraan.

Orang Muda Katolik Merajut Kehidupan Dialogal
Sudah layak dan sepantasnya, rajutan persatuan yang telah dipintal melalui amanat-amanat tersebut menjadi motivasi untuk merawat persatuan bangsa. Orang muda sebagai bagian dari bangsa pun layak ambil bagian dalam menjaga keutuhan bangsa. Hanya saja, dalam berita-berita yang disiarkan media, orang-orang muda terlibat dalam aksi kekerasan bahkan menginisiasi kelompok garis keras. Penerimaan yang rendah menghadapi perbedaan memicu tindak kekerasan. Kondisi ini membuat banyak kalangan gerah dan gundah, seolah amanat humanisme secara perlahan-lahan dan pasti dicabik-cabik.

Bukan sepenuhnya hal ini kesalahan orang muda, teladan dari generasi pendahulu layak direfleksikan bersama, bagaimana di lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, dan lebih jauh bangsa dan negara. Pendidikan akademik dan rohani adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam mendidik orang muda. Kepintaran atau kecerdasan akademik tanpa rohani yang sehat, hanya akan menciptakan manusia tanpa roh, karena jiwanya digerakkan oleh penguasaan keilmuan semata. Lebih jauh, dua hal yang patut kita soroti terkait dengan perilaku orang muda, yakni arus individualisme dan fundamentalisme. Individualisme menyeret orang muda dalam orientasi pribadi, kepedulian sosial tereduksi dengan tren hidup yang bergeser. Persoalan yang melanda bangsa dan negara dapat dianggap bukan menjadi masalah. Keterlibatan dalam merajut jalinan cinta kasih melalui berbagai aktivitas bukanlah prioritas. Di samping itu, terdapat fenomena yang berbeda. Sebagai bentuk tindakan solidaritas terhadap kesamaan yang melekat, orang muda membuta dengan tindakan anarkis dan menganggap diri paling benar. Kehidupan bangsa dapat semakin ironis apabila hal ini tidak direfleksikan oleh orang  muda dan generasi pendahulunya.

Orang Muda Katolik (OMK) sebagai bagian dari negara Indonesia memiliki peran sama dengan orang muda dari agama lain. Merawat negara bukan hanya tugas dari saudara yang mayoritas secara kuantitatif, namun peran semua masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Keminoritasan layaklah bukan menjadi dasar OMK untuk meminimalkan keterlibatan dalam berbagai segi kehidupan dan menutup diri dari dunia dialog. Gereja Katolik melalui dokumen-dokumen mengamanatkan dan mendorong keterlibatan tersebut. Sepantasnyalah dalam keminoritasan, lahir OMK yang dapat diperhitungkan karena kualitas nasionalisme terhadap bangsa dan negara.

Sejauh mata memandang, khususnya OMK Keuskupan Padang, cita-cita OMK di atas belum terealisasi secara memuaskan. Umumnya kondisi riil OMK Keuskupan Padang, yakni terfokus pada komunitas sendiri, program kerja bernuansa seremonial atau tahunan tanpa memperluas jangkauan pelayanan, dan minim diskusi tentang masalah-masalah yang terjadi di Indonesia pada umumnya dan daerah pada khususnya, hal ini diamini oleh Raymond Erico, bergiat di Komisi Kepemudaan Keuskupan Padang. Barangkali fenomena ini umum terjadi di daerah Indonesia lain. Walau demikian, optimisme dalam hidup berbangsa dan bernegara sangatlah penting, agar rajutan persatuan tidak semakin koyak, tambahnya. Sejatinya, dalam pandangan Mgr. Soegijapranata orang Katolik pantaslah menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia, seperti koin dengan gambar yang berbeda di kedua belah sisi namun tidak terpisah.   

Ada beragam tindakan yang mencerminkan amanat Gereja dan Tanah air yang dapat dilakukan. OMK bisa merajut kehidupan dialogal serta merayakan keberagaman di daerah-daerah, tentu hal ini tidak terlepas dari bimbingan generasi terdahulu baik hirarki maupun awam. Mengutip ajaran Santo Ignatius dari Loyola segala tindakan dikerjakan untuk satu tujuan yang besar, yakni demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Dalam mencapai tujuan tersebut banyak sarana dan strategi yang mendukung OMK, yakni (1) terlibat dalam Gereja semisal rayon, stasi, paroki, atau komisi keuskupan. (2) melakukan dialog kehidupan: OMK digerakkan oleh sikap-sikap solider dan kebersamaan dalam interaksi dalam masyarakat majemuk; (3) melakukan dialog karya: OMK baik secara pribadi atau pun institusi bekerjasama dengan organisasi di luar Gereja. OMK dapat bergabung dalam organisasi sekolah atau kampus atau tempat kerja. Selain itu, bisa melalui sarana semisal Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik (PK), Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI), atau organisasi sosial kemasyarakatan lain untuk bekerjasama dalam pembangunan dan peningkatan martabat manusia.

Dalam mewujudkan generasi Katolik yang mengIndonesia tentulah bukan tugas orang-orang tertentu. Namun, menjadi tugas integral dari hirarki dan awam Gereja dalam mewujudkan generasi yang memiliki kepedulian terhadap bangsa. Mari berkontemplasi dalam aksi, semoga event Indonesian Youth Day 2012 di Sanggau semakin meneguhkan OMK merajut kehidupan dialogal serta merayakan keberagaman. Salam kasih dari Ranah Minang.

*) OMK Stasi Tabing - Paroki St. Fransiskus Asisi Padang Baru
    Ketua Presidium PMKRI Padang Periode 2009-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites