Perspektif Historis
Menarik mengikuti perjalanan bangsa Indonesia
terutama kaitannya dengan persatuan. Tiada henti memperbincangkan fakta keberagaman,
yang makin tampak menyeruak di jaman ini, yang dikenal dengan jaman reformasi.
Masa sekarang tidak ada kata malu untuk menyatakan posisi antagonistik
menghadapi keberagaman bahkan keberanian untuk melawan fakta tersebut, melalui
penyeragaman dalam banyak hal, dilakukan dengan cara yang tidak humanis.
Sementara keberagaman telah ada sejak lama.
Dalam perspektif historis, Indonesia didirikan bukan
untuk atau karena satu golongan tertentu. Kunci pokok yang mempersatukan bangsa
ini bukanlah kesamaan budaya, agama, dan etnisitas, melainkan karena adanya
Negara Persatuan yang menampung cita-cita politik bersama, mengatasi segala
paham perseorangan dan golongan. Dalam konsep Negara Persatuan, negara menjadi
alat pemersatu bangsa, warisan historis tradisi kekuasaan dan kebudayaan sebelumnya
dari berbagai kemajemukan etnis, budaya, dan agama dipertahankan. Oleh karena
itu, para pendiri bangsa (telah) dengan seksama menentukan Pancasila sebagai
dasar negara, sarana yang tepat dalam mengakomodir keberagaman.
Selanjutnya, keharmonisan dan kerukunan tercipta dengan
masyarakat memahami arti pentingnya humanitas dalam keberagaman. Konteks
Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila bukan hanya menggali pengetahuan dalam
tataran ritual atau perayaan keagamaan semata, namun juga nilai-nilai profetis
agama yang inklusif, membebaskan, serta toleran yang memberi semangat gotong
royong dalam rangka mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara secara etis dan
humanis. Dengan konteks Ketuhanan yang demikian, Pancasila bisa memberikan
landasan moral bagi sistem demokrasi yang hendak dikembangkan dalam jaman
reformasi. Sila pertama ini dapat menjadi roh penggerak dalam realitas
keberagaman.
Belajar melalui perjalanan hidup Yesus, Ia berdialog
dan berinteraksi dengan banyak orang serta dari kalangan mana pun, bukan hanya
mereka orang Yahudi namun juga Saduki, Farisi, Zelot, Kanaan, Gerasa, Samaria,
dan lainnya. Ia berinteraksi dengan siapapun, tanpa memandang muka, dengan ahli
taurat, penjala ikan, pemungut cukai, imam besar, hamba seorang perwira, bahkan
sampai penguasa di masa itu. Interaksi-Nya dilandasi oleh kasih, seperti yang
Ia sampaikan mengenai hukum yang terutama, yakni mengasihi Allah dan sesama
manusia (Mrk 12:33).
Gereja dalam Konsili Vatikan II menempatkan dialog
menjadi salah satu kunci utama dalam masyarakat yang majemuk. Dalam Gaudium et Spes diungkapkan dengan
gamblang bagaimana Gereja (umat Allah beriman) masuk dalam dialog dengan dunia.
Dalam semangat ensiklik Ecclesiam Suam
(21 November 1964) Gereja diminta untuk “menjalin dialog keselamatan tanpa
batas dan tidak menunggu terlebih dahulu untuk diundang”. Gereja tidak
menyangkal keberagaman dan mengajak umat beragama lain untuk bersama-sama
membangun suatu dialog keselamatan. Hal ini terdapat dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, secara lebih eksplisit
hal ini ditegaskan dalam dokumen Nostra
Aetate (28 Oktober 1965).
Melalui dokumen-dokumen tersebut, ingin disampaikan
bahwa (1) Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang benar dan suci dalam
agama-agama lain; (2) Dialog Kristen-Islam pada tempat pertama adalah dialog
antarorang-orang yang beriman. Gereja Katolik secara resmi mengungkapkan penghargaannya
kepada umat Islam, yang menyembah Allah yang Maha Esa; (3) Dialog
Kristen-Yahudi didasarkan pertama-tama pada jalinan keterkaitan umat Perjanjian
Baru (Gereja) secara rohani dengan keturunan Ibrahim (Yahudi). Gereja Katolik
menguraikan pandangan positif yang pada intinya ingin menghapus ungkapan bahwa
seakan-akan umat Yahudi ditolak Allah. Konsili ingin memupuk dan menganjurkan
pengenalan dan penghargaan satu sama lain dalam dialog persaudaraan.
Orang
Muda Katolik Merajut Kehidupan Dialogal
Sudah layak dan sepantasnya, rajutan persatuan yang
telah dipintal melalui amanat-amanat tersebut menjadi motivasi untuk merawat
persatuan bangsa. Orang muda sebagai bagian dari bangsa pun layak ambil bagian
dalam menjaga keutuhan bangsa. Hanya saja, dalam berita-berita yang disiarkan
media, orang-orang muda terlibat dalam aksi kekerasan bahkan menginisiasi
kelompok garis keras. Penerimaan yang rendah menghadapi perbedaan memicu tindak
kekerasan. Kondisi ini membuat banyak kalangan gerah dan gundah, seolah amanat humanisme
secara perlahan-lahan dan pasti dicabik-cabik.
Bukan sepenuhnya hal ini kesalahan orang muda,
teladan dari generasi pendahulu layak direfleksikan bersama, bagaimana di
lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, dan lebih jauh bangsa dan negara. Pendidikan
akademik dan rohani adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam mendidik
orang muda. Kepintaran atau kecerdasan akademik tanpa rohani yang sehat, hanya
akan menciptakan manusia tanpa roh, karena jiwanya digerakkan oleh penguasaan
keilmuan semata. Lebih jauh, dua hal yang patut kita soroti terkait dengan
perilaku orang muda, yakni arus individualisme dan fundamentalisme. Individualisme
menyeret orang muda dalam orientasi pribadi, kepedulian sosial tereduksi dengan
tren hidup yang bergeser. Persoalan yang melanda bangsa dan negara dapat
dianggap bukan menjadi masalah. Keterlibatan dalam merajut jalinan cinta kasih
melalui berbagai aktivitas bukanlah prioritas. Di samping itu, terdapat
fenomena yang berbeda. Sebagai bentuk tindakan solidaritas terhadap kesamaan yang
melekat, orang muda membuta dengan tindakan anarkis dan menganggap diri paling
benar. Kehidupan bangsa dapat semakin ironis apabila hal ini tidak
direfleksikan oleh orang muda dan
generasi pendahulunya.
Orang Muda Katolik (OMK) sebagai bagian dari negara
Indonesia memiliki peran sama dengan orang muda dari agama lain. Merawat negara
bukan hanya tugas dari saudara yang mayoritas secara kuantitatif, namun peran
semua masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Keminoritasan layaklah bukan
menjadi dasar OMK untuk meminimalkan keterlibatan dalam berbagai segi kehidupan
dan menutup diri dari dunia dialog. Gereja Katolik melalui dokumen-dokumen
mengamanatkan dan mendorong keterlibatan tersebut. Sepantasnyalah dalam
keminoritasan, lahir OMK yang dapat diperhitungkan karena kualitas nasionalisme
terhadap bangsa dan negara.
Sejauh mata memandang, khususnya OMK Keuskupan Padang,
cita-cita OMK di atas belum terealisasi secara memuaskan. Umumnya kondisi riil
OMK Keuskupan Padang, yakni terfokus pada komunitas sendiri, program kerja bernuansa
seremonial atau tahunan tanpa memperluas jangkauan pelayanan, dan minim diskusi
tentang masalah-masalah yang terjadi di Indonesia pada umumnya dan daerah pada
khususnya, hal ini diamini oleh Raymond Erico, bergiat di Komisi Kepemudaan
Keuskupan Padang. Barangkali fenomena ini umum terjadi di daerah Indonesia
lain. Walau demikian, optimisme dalam hidup berbangsa dan bernegara sangatlah
penting, agar rajutan persatuan tidak semakin koyak, tambahnya. Sejatinya,
dalam pandangan Mgr. Soegijapranata orang Katolik pantaslah menjadi 100% Katolik
dan 100% Indonesia, seperti koin dengan gambar yang berbeda di kedua belah sisi
namun tidak terpisah.
Ada beragam tindakan yang mencerminkan amanat Gereja
dan Tanah air yang dapat dilakukan. OMK bisa merajut kehidupan dialogal serta
merayakan keberagaman di daerah-daerah, tentu hal ini tidak terlepas dari
bimbingan generasi terdahulu baik hirarki maupun awam. Mengutip ajaran Santo
Ignatius dari Loyola segala tindakan dikerjakan untuk satu tujuan yang besar,
yakni demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Dalam mencapai tujuan tersebut banyak
sarana dan strategi yang mendukung OMK, yakni (1) terlibat dalam Gereja semisal
rayon, stasi, paroki, atau komisi keuskupan. (2) melakukan dialog kehidupan:
OMK digerakkan oleh sikap-sikap solider dan kebersamaan dalam interaksi dalam
masyarakat majemuk; (3) melakukan dialog karya: OMK baik secara pribadi atau
pun institusi bekerjasama dengan organisasi di luar Gereja. OMK dapat bergabung
dalam organisasi sekolah atau kampus atau tempat kerja. Selain itu, bisa
melalui sarana semisal Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI),
Pemuda Katolik (PK), Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), Forum Masyarakat Katolik
Indonesia (FMKI), atau organisasi sosial kemasyarakatan lain untuk bekerjasama
dalam pembangunan dan peningkatan martabat manusia.
Dalam mewujudkan generasi Katolik yang mengIndonesia
tentulah bukan tugas orang-orang tertentu. Namun, menjadi tugas integral dari
hirarki dan awam Gereja dalam mewujudkan generasi yang memiliki kepedulian
terhadap bangsa. Mari berkontemplasi dalam aksi, semoga event Indonesian Youth Day 2012 di Sanggau semakin meneguhkan OMK
merajut kehidupan dialogal serta merayakan keberagaman. Salam kasih dari Ranah
Minang.
*) OMK Stasi Tabing - Paroki St. Fransiskus Asisi Padang Baru
Ketua Presidium PMKRI Padang Periode 2009-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar