Cerpen: Uli Maria Sihotang – Petrus
Claver, Bukittinggi)
Siapa yang tak kenal Johan? Di
kampus maupun di gereja, hampir sulit menemukan orang yang tidak mengenalinya.
Saat ini, Johan merupakan seorang mahasiswa tahun 3 yang sedang berkuliah pada
salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Yogyakarta. Prestasinya yang tak
putus-putus, membuat dirinya semakin dikenal dan disanjung oleh para mahasiswa
di kampusnya. Tak jarang juga para dosen mengajaknya untuk duduk berdiskusi
bersama. Selain dalam bidang akademik, prestasi Johan juga cemerlang sebagai
aktivis kampus. Posisinya saat ini membuat orang-orang di lingkungan kampusnya
cepat atau lambat akan mengenalnya. Ia adalah Gubernur Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM). Baru 6 bulan menjabat, tapi sudah begitu banyak kegiatan basis
mahasiswa yang Ia selenggarakan. Di gereja, Johan juga bergabung di kebanyakan
kepanitiaan yang diselenggarakan paroki setempat. Rekan-rekannya sesama OMK
sangat bangga padanya, tak jarang pula ada yang merasa iri padanya.
“Kus, maaf sebelumnya. Aku mau
ngomong, tapi kamu jangan negatif thingking dulu yah?” Markus yang tadinya sibuk dengan HP-nya,
tiba-tiba terhenti, sesaat setelah mendengar ucapan Johan yang dia rasa cukup
serius.
“Kamu mau ngomong apa?”, balas
Markus dengan tatapan serius mengarah pada Johan.
“Aku ngerasa, akhir-akhir ini kamu
seperti menjaga jarak denganku. Aku merasa sudah berbuat sesuatu yang salah,
sehingga membuatmu tersinggung.”, sahut Johan yang kemudian menunduk, takut
kalau-kalau Markus salah paham dengan apa yang sudah disampaikannya.
Namun,
tiba-tiba Markus tertawa dan kemudian menjawab, “Heh, Johan, sejak kapan kamu
cengeng begini? Sejak kapan kamu sensitif begini? Kamu suka ma aku? Hahahaha....”
Johan kaget melihat reaksi Markus yang berbeda jauh dengan yang dipikirkannya,
kemudian ikut tertawa, namun mencoba untuk tetap membahasnya dengan serius.
“Gila, kamu pikir aku ni udah ngak
normal apa? Aku serius nih, kamu tuh berubah sekarang sama aku. Kita udah
jarang sependapat, bahkan sering juga kamu ngak ngasih pendapat.”, sambung
Johan. Markus masih saja tertawa dan menganggap Johan sedang membahas sesuatu
yang tidak penting.
“Johan, Johan. Kamu tuh udah
Gubernur BEM, beda pendapat itu adalah hal yang biasa. Masak cuma karna beda
pendapat aja, kamu langsung mikir aku yang aneh-aneh? Hahaha....”
“Aku nggak mikir yang aneh-aneh Kus,
aku tuh cuma ngerasa sekarang kita juga jarang bareng, yah kayaknya dah punya
dunia masing-masing.”, lanjut Johan. Kini Markus terdiam. Ia menganggap bahwa
Johan tidak tahu tentang apa yang sudah dilakukan Markus selama Johan menjabat
sebagai Gubernur BEM.
“Kamu bakal tau nanti.”, jawab
Markus singkat. Setelah itu, Markus pergi meninggalkan Johan yang terdiam.
Johan semakin bingung dengan ucapan Markus, tapi berusaha untuk mencari tau apa
yang dimaksudkan oleh Markus.
Semenjak sore itu, Johan dan Markus
sama sekali tidak bertemu. Komunikasipun sangat jarang, karena Markus mulai
sibuk dengan aktifitasnya. Johan merasa sangat kesepian dan hilang semangat.
Segala tugas ia laksanakan dengan baik, tapi rekan-rekan kerjanya mulai merasa
tidak puas dengan hasil kerjanya. Johan juga makin sering melakukan kesalahan
sepele, yang berdampak luar biasa untuk kelangsungan BEM. Berbagai gugatan dari
forum-forum yang tidak jelas asal-usulnya mulai menyerang BEM habis-habisan.
Forum ilegal tersebut menganggap BEM semakin otoriter dan tidak merakyat. BEM
justru semakin dekat dengan pihak Rektorat, yang kebanyakan forum menganggap
bahwa hal tersebut negatif. Begitu banyak keputusan-keputusan BEM yang dianggap
memihak Rektorat tapi justru merugikan mahasiswa yang lain.
Johan
mulai kalut dan putus asa. Dia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Dia
membutuhkan kehadiran Markus disaat-saat seperti ini, namun keberadaan Markus
justru tidak jelas ada di mana. Johan menganggap Markus bukanlah sahabat yang
baik. Berbagai pikiran negatif tentang Markus mulai muncul dipikirannya.
Tepat hari Minggu sore sepulang
Misa, Johan akhirnya bertemu dengan Markus. Johan menarik Markus ketempat yang
sepi lalu mulai menumpahkan segala emosi yang lama ditahannya.
“Kemana aja sih kamu? Kenapa
disaat-saat sulit seperti ini, kamu justru menghilang? Apa gunamu sebagai
sahabat?” Markus heran dan kaget dengan ucapan Johan yang tidak jelas itu.
Emosi Markus pun terpancing,
“Apa maksud kamu? Kenapa tiba-tiba
marah?”
“Heh Markus, aku tau kamu tuh iri
sama aku, karena aku jauh lebih baik dan lebih hebat dibanding kamu, makanya
kamu biarkan aku sendiri, ya kan?”
Markus
semakin kaget dan semakin tidak mengerti. “Maksud
kamu apa sih? Iri? Kenapa aku harus iri? Kapan aku tinggalkan kamu?”, sanggah
Markus. Johan semakin emosi, tapi tetap berusaha menahannya agar tidak terjadi
pertengkaran di antara mereka.
“Iya, kamu iri karna kamu nggak
pernah berada diposisi aku yang serba nyaman. Makanya kamu tinggalin aku,
makanya kamu hilang tanpa jejak, karena takut aku hanya akan membuatmu semakin
iri. Huh.. dan sekarang kamu jauh lebih senang, karena aku yang dulu
dielu-elukan, kini justru disumpahserapahi.”
Markus
berusaha sabar dan tetap tenang agar Johan tidak berpikiran semakin jauh.
Dengan tegas, Markus meyakinkan Johan. “Johan, aku tidak pernah menghilang dari
kamu. Kamu yang mengambil pilihan ini. Kamu ingat, aku pernah mengajakmu
bergabung di LSM, kan? Tapi kamu sendiri menolak, karena kamu merasa lebih
nyaman di kampus dan sibuk dengan acara-acara gereja. Aku tidak pernah
meninggalkan kamu, tapi kamu yang terlampau hanyut dengan kesibukanmu, sehingga
ketika ada waktu luang, kamu berpikir aku yang jauh dari kamu.”, terang Markus
penuh penekanan. Markus diam sejenak, mengira bahwa Johan akan mengerti dan
minta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya,
Johan semakin marah dan membentak Markus.
“Apa? Sibuk? Aku pikir kamu jauh
lebih sibuk dari pada aku. Aku memang memilih BEM dan gereja, tapi apa salah
ku? Kenapa harus aku? Kenapa bukan kamu, yang hanya diam saja dan tidak
melakukan apa-apa untuk gereja dan berkegiatan di kampus? Apa semua orang lupa
dengan jasa-jasaku? APA MEREKA LUPA DENGAN JASA-JASAKU?”, dengan emosi penuh
dan nada yang meninggi Johan berbicara.
Markus
tak mau kalah. Ia berusaha untuk meyakinkan Johan agar tidak menjadi orang yang
sombong. “Ada yang ingin aku tunjukkan padamu.”, ucap Markus singkat. Kemudian
Markus mengajak Johan ke sebuah panti rehabilitasi. Di tempat tersebut ada
banyak orang cacat fisik dan mental, dari anak-anak sampai orang dewasa. Ada
juga beberapa orang, rekan-rakan LSM Markus yang sedang mendampingi
pasien-pasiennya. Johan bingung karena tidak mengerti maksud Markus membawanya
ke panti ini.
“Apa maksud kamu membawa ku
kesini?”, sahut Johan.
Markus
akhirnya menjelaskan panjang bahwa di panti rehabilitasi tersebutlah
keberadaannya selama Ia dianggap menghilang dari hadapan Johan. Di tempat
inilah Markus mengabdikan
diri selama Johan sibuk dengan BEM dan kegiatan menggereja dan hanya di panti
rehabilitasi inilah tempat, yang Markus anggap dirinya jauh lebih berguna dan
dibutuhkan. “Aku tidak punya maksud apa-apa membawamu kesini. Aku hanya ingim
membuka pikiranmu, bahwa kita punya pilihan masing-masing. Kita punya kelebihan
yang berbeda satu sama lain. Aku tak pernah iri padamu. Aku bangga padamu yang
bisa menjadi pemimpin di kampus dan solid di gereja. Tapi ingatlah sobat,
segala sesuatu yang kita lakukan seharusnya dilandasi kesediaan dan keikhlasan
untuk melakukannya, bukan karena ada keinginan tertentu. Aku tidak pernah iri,
aku justru banyak belajar darimu. Mungkin saja segala karya dan usahamu saat
ini belum dihargai, sehingga timbul pemikiran-pemikiran negatif dari
orang-orang lain.”, ucap Markus dengan penuh ketenangan.
Johan
terdiam. Dalam diammnya, Johan menyesal telah berpikiran negatif pada Markus
sahabat kecilnya.
“Maafkan aku Kus, aku terlalu
berpikir negatif padamu. Kupikir, sepertinya saat ini aku hanya putus asa
karena terlalu banyak persoalan yang ku hadapi saat ini. Sekali lagi,
maafkanlah aku”, tutur Johan seperti setengah haru.
Markus
pun tersenyum, lalu merangkul sahabatnya itu. “Hahaha.... kan sudah ku bilang,
kamu bakal tau suatu saat nanti. Tapi kamu justru tak sabar. Aku mengerti
bagaimana perasaanmu saat ini. Jangan menyerah, aku yakin kamu bisa
menghadapinya. Hanya perlu kamu ingat, di gereja dan di kampus saja tidak
cukup. Kamu perlu terjun langsung ke masyarakat, agar segala usaha dan karya
kita jauh lebih mempunyai makna bagi orang-orang yang membutuhkannya.”, tambah
Markus sambil menepuk-nepuk pundak Johan.
Akhirnya
Johan dan Markus sudah
kembali merasa tenang dan merasa jauh lebih damai, dan ditengah-tengah sukacita
dan rasa damai yang mereka rasakan tersebut, Johan berkata, “Nah, sekarang aku
tau, Siapa yang lebih hebat !!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar