Jumat, 19 April 2013

SIAPA YANG PALING HEBAT ???

Cerpen: Uli Maria Sihotang – Petrus Claver, Bukittinggi)
  
            Siapa yang tak kenal Johan? Di kampus maupun di gereja, hampir sulit menemukan orang yang tidak mengenalinya. Saat ini, Johan merupakan seorang mahasiswa tahun 3 yang sedang berkuliah pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Yogyakarta. Prestasinya yang tak putus-putus, membuat dirinya semakin dikenal dan disanjung oleh para mahasiswa di kampusnya. Tak jarang juga para dosen mengajaknya untuk duduk berdiskusi bersama. Selain dalam bidang akademik, prestasi Johan juga cemerlang sebagai aktivis kampus. Posisinya saat ini membuat orang-orang di lingkungan kampusnya cepat atau lambat akan mengenalnya. Ia adalah Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Baru 6 bulan menjabat, tapi sudah begitu banyak kegiatan basis mahasiswa yang Ia selenggarakan. Di gereja, Johan juga bergabung di kebanyakan kepanitiaan yang diselenggarakan paroki setempat. Rekan-rekannya sesama OMK sangat bangga padanya, tak jarang pula ada yang merasa iri padanya.
           
“Kamu jangan minder gitu donk ma aku.. Aku kan jadi nggak enak sama kamu. Kesannya gimana... gitu.” Begitulah Johan menghadapi sahabatnya, Markus, yang terkadang tak mau bergabung bersama Johan. Markus dan Johan sudah sejak lama saling kenal, mulai dari SMP hingga sekarang mereka selalu bersama. Namun, semenjak Johan menjabat sebagai Gubernur BEM, Markus semakin manjaga jarak dengan Johan. Johan bingung dengan sikap sahabatnya itu, tetapi ia tetap berusaha untuk menjaga komunikasi mereka agar tetap lancar. Hingga pada akhirnya, suatu sore di gereja seusai ibadat sore, Johan memberanikan diri mencari tau alasan perubahan sikap sahabatnya itu.
            “Kus, maaf sebelumnya. Aku mau ngomong, tapi kamu jangan negatif thingking dulu yah?” Markus yang tadinya sibuk dengan HP-nya, tiba-tiba terhenti, sesaat setelah mendengar ucapan Johan yang dia rasa cukup serius.
            “Kamu mau ngomong apa?”, balas Markus dengan tatapan serius mengarah pada Johan.
            “Aku ngerasa, akhir-akhir ini kamu seperti menjaga jarak denganku. Aku merasa sudah berbuat sesuatu yang salah, sehingga membuatmu tersinggung.”, sahut Johan yang kemudian menunduk, takut kalau-kalau Markus salah paham dengan apa yang sudah disampaikannya.
Namun, tiba-tiba Markus tertawa dan kemudian menjawab, “Heh, Johan, sejak kapan kamu cengeng begini? Sejak kapan kamu sensitif begini? Kamu suka ma aku? Hahahaha....” Johan kaget melihat reaksi Markus yang berbeda jauh dengan yang dipikirkannya, kemudian ikut tertawa, namun mencoba untuk tetap membahasnya dengan serius.
            “Gila, kamu pikir aku ni udah ngak normal apa? Aku serius nih, kamu tuh berubah sekarang sama aku. Kita udah jarang sependapat, bahkan sering juga kamu ngak ngasih pendapat.”, sambung Johan. Markus masih saja tertawa dan menganggap Johan sedang membahas sesuatu yang tidak penting.
            “Johan, Johan. Kamu tuh udah Gubernur BEM, beda pendapat itu adalah hal yang biasa. Masak cuma karna beda pendapat aja, kamu langsung mikir aku yang aneh-aneh? Hahaha....”
            “Aku nggak mikir yang aneh-aneh Kus, aku tuh cuma ngerasa sekarang kita juga jarang bareng, yah kayaknya dah punya dunia masing-masing.”, lanjut Johan. Kini Markus terdiam. Ia menganggap bahwa Johan tidak tahu tentang apa yang sudah dilakukan Markus selama Johan menjabat sebagai Gubernur BEM.
            “Kamu bakal tau nanti.”, jawab Markus singkat. Setelah itu, Markus pergi meninggalkan Johan yang terdiam. Johan semakin bingung dengan ucapan Markus, tapi berusaha untuk mencari tau apa yang dimaksudkan oleh Markus.
            Semenjak sore itu, Johan dan Markus sama sekali tidak bertemu. Komunikasipun sangat jarang, karena Markus mulai sibuk dengan aktifitasnya. Johan merasa sangat kesepian dan hilang semangat. Segala tugas ia laksanakan dengan baik, tapi rekan-rekan kerjanya mulai merasa tidak puas dengan hasil kerjanya. Johan juga makin sering melakukan kesalahan sepele, yang berdampak luar biasa untuk kelangsungan BEM. Berbagai gugatan dari forum-forum yang tidak jelas asal-usulnya mulai menyerang BEM habis-habisan. Forum ilegal tersebut menganggap BEM semakin otoriter dan tidak merakyat. BEM justru semakin dekat dengan pihak Rektorat, yang kebanyakan forum menganggap bahwa hal tersebut negatif. Begitu banyak keputusan-keputusan BEM yang dianggap memihak Rektorat tapi justru merugikan mahasiswa yang lain.
Johan mulai kalut dan putus asa. Dia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Dia membutuhkan kehadiran Markus disaat-saat seperti ini, namun keberadaan Markus justru tidak jelas ada di mana. Johan menganggap Markus bukanlah sahabat yang baik. Berbagai pikiran negatif tentang Markus mulai muncul dipikirannya.
            Tepat hari Minggu sore sepulang Misa, Johan akhirnya bertemu dengan Markus. Johan menarik Markus ketempat yang sepi lalu mulai menumpahkan segala emosi yang lama ditahannya.
            “Kemana aja sih kamu? Kenapa disaat-saat sulit seperti ini, kamu justru menghilang? Apa gunamu sebagai sahabat?” Markus heran dan kaget dengan ucapan Johan yang tidak jelas itu. Emosi Markus pun terpancing,
            “Apa maksud kamu? Kenapa tiba-tiba marah?”
            “Heh Markus, aku tau kamu tuh iri sama aku, karena aku jauh lebih baik dan lebih hebat dibanding kamu, makanya kamu biarkan aku sendiri, ya kan?”
Markus semakin kaget dan semakin tidak mengerti. “Maksud kamu apa sih? Iri? Kenapa aku harus iri? Kapan aku tinggalkan kamu?”, sanggah Markus. Johan semakin emosi, tapi tetap berusaha menahannya agar tidak terjadi pertengkaran di antara mereka.
            “Iya, kamu iri karna kamu nggak pernah berada diposisi aku yang serba nyaman. Makanya kamu tinggalin aku, makanya kamu hilang tanpa jejak, karena takut aku hanya akan membuatmu semakin iri. Huh.. dan sekarang kamu jauh lebih senang, karena aku yang dulu dielu-elukan, kini justru disumpahserapahi.”
Markus berusaha sabar dan tetap tenang agar Johan tidak berpikiran semakin jauh. Dengan tegas, Markus meyakinkan Johan. “Johan, aku tidak pernah menghilang dari kamu. Kamu yang mengambil pilihan ini. Kamu ingat, aku pernah mengajakmu bergabung di LSM, kan? Tapi kamu sendiri menolak, karena kamu merasa lebih nyaman di kampus dan sibuk dengan acara-acara gereja. Aku tidak pernah meninggalkan kamu, tapi kamu yang terlampau hanyut dengan kesibukanmu, sehingga ketika ada waktu luang, kamu berpikir aku yang jauh dari kamu.”, terang Markus penuh penekanan. Markus diam sejenak, mengira bahwa Johan akan mengerti dan minta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, Johan semakin marah dan membentak Markus.
            “Apa? Sibuk? Aku pikir kamu jauh lebih sibuk dari pada aku. Aku memang memilih BEM dan gereja, tapi apa salah ku? Kenapa harus aku? Kenapa bukan kamu, yang hanya diam saja dan tidak melakukan apa-apa untuk gereja dan berkegiatan di kampus? Apa semua orang lupa dengan jasa-jasaku? APA MEREKA LUPA DENGAN JASA-JASAKU?”, dengan emosi penuh dan nada yang meninggi Johan berbicara.
Markus tak mau kalah. Ia berusaha untuk meyakinkan Johan agar tidak menjadi orang yang sombong. “Ada yang ingin aku tunjukkan padamu.”, ucap Markus singkat. Kemudian Markus mengajak Johan ke sebuah panti rehabilitasi. Di tempat tersebut ada banyak orang cacat fisik dan mental, dari anak-anak sampai orang dewasa. Ada juga beberapa orang, rekan-rakan LSM Markus yang sedang mendampingi pasien-pasiennya. Johan bingung karena tidak mengerti maksud Markus membawanya ke panti ini.
            “Apa maksud kamu membawa ku kesini?”, sahut Johan.
Markus akhirnya menjelaskan panjang bahwa di panti rehabilitasi tersebutlah keberadaannya selama Ia dianggap menghilang dari hadapan Johan. Di tempat inilah Markus mengabdikan diri selama Johan sibuk dengan BEM dan kegiatan menggereja dan hanya di panti rehabilitasi inilah tempat, yang Markus anggap dirinya jauh lebih berguna dan dibutuhkan. “Aku tidak punya maksud apa-apa membawamu kesini. Aku hanya ingim membuka pikiranmu, bahwa kita punya pilihan masing-masing. Kita punya kelebihan yang berbeda satu sama lain. Aku tak pernah iri padamu. Aku bangga padamu yang bisa menjadi pemimpin di kampus dan solid di gereja. Tapi ingatlah sobat, segala sesuatu yang kita lakukan seharusnya dilandasi kesediaan dan keikhlasan untuk melakukannya, bukan karena ada keinginan tertentu. Aku tidak pernah iri, aku justru banyak belajar darimu. Mungkin saja segala karya dan usahamu saat ini belum dihargai, sehingga timbul pemikiran-pemikiran negatif dari orang-orang lain.”, ucap Markus dengan penuh ketenangan.
Johan terdiam. Dalam diammnya, Johan menyesal telah berpikiran negatif pada Markus sahabat kecilnya.
            “Maafkan aku Kus, aku terlalu berpikir negatif padamu. Kupikir, sepertinya saat ini aku hanya putus asa karena terlalu banyak persoalan yang ku hadapi saat ini. Sekali lagi, maafkanlah aku”, tutur Johan seperti setengah haru.
Markus pun tersenyum, lalu merangkul sahabatnya itu. “Hahaha.... kan sudah ku bilang, kamu bakal tau suatu saat nanti. Tapi kamu justru tak sabar. Aku mengerti bagaimana perasaanmu saat ini. Jangan menyerah, aku yakin kamu bisa menghadapinya. Hanya perlu kamu ingat, di gereja dan di kampus saja tidak cukup. Kamu perlu terjun langsung ke masyarakat, agar segala usaha dan karya kita jauh lebih mempunyai makna bagi orang-orang yang membutuhkannya.”, tambah Markus sambil menepuk-nepuk pundak Johan.

Akhirnya Johan dan Markus sudah kembali merasa tenang dan merasa jauh lebih damai, dan ditengah-tengah sukacita dan rasa damai yang mereka rasakan tersebut, Johan berkata, “Nah, sekarang aku tau, Siapa yang lebih hebat !!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites