Selasa, 30 April 2013

MENIKAH BEDA AGAMA

Dear BUKIT,
Saya Angelic dari Paroki St. Petrus Claver Bkt. Saya mau bertanya: Apakah pindah agama karena menikah merupakan sebuah dosa? Jika iya, apakah hal tersebut tergolong ke dalam dosa berat? Dan jika memilih tidak menikah apakah termasuk ke dalam dosa? Mohon pencerahannya, terimakasih BUKIT.  Salam.
Dear BUKIT,
Saya Imel dari Paroki Petrus Claver Bukittinggi, sekarang berdomisili di Jakarta. Saya mau bertanya sebagai berikut: jika kita punya saudara yang menikah dengan pasangan yang beda agama, pada saat pernikahan tidak meminta dispensasi dan semua keluarga mengikuti acara pernikahan tersebut. Apakah benar keluarganya diberi penalty tidak boleh menerima komuni dan penalty nya berapa lama? Apakah ada aturan menegenai penalty-penalty yang diberikan kepada umat gereja tentang pelanggarannya?

Angelic dan Imel yang terkasih!
Sebelum menjawab pertanyaan yang kalian ajukan, terlebih dahulu saya ingin menjelaskan harapan Gereja tentang perkawinan putra-puterinya. Menurut Gereja Katolik, perkawinan adalah persekutuan seumur hidup antara sungguh pria dan sungguh wanita yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen. Perkawinan tersebut sah bila memenuhi persayaratan berikut: Pertama adalah adanya kesepakatan (konsensus) di antara orang yang menikah. Kesepakatan ini muncul dari pengertian yang sama tentang hakekat perkawinan yakni monogami dan tidak dapat dipisahkan seumur hidup. Kedua adalah bebas dari halangan misalnya tidak terikat perkawinan, hubungan darah dll. Ketiga, Perkawinan dilangsungkan sesuai dengan forma canonica, artinya perkawinan itu berlangsung menurut ritus Gereja Katolik di hadapan pejabat resmi Gereja (Uskup, Imam, daikon atau awam yang diberi delegasi untuk itu) dan di hadapan dua orang saksi.
Meskipun Gereja melihat serta menganjurkan dengan tegas bahwa hal yang terbaik bagi putera-puterinya adalah agar melangsungkan perkawinan dengan sesama Katolik yang berdasarkan konsep perkawinan sebagai sakramen dan karenanya tidak terceraikan. (apakah agama lain mengerti demikian juga?). Namun Gereja juga tidak menutup mata bahwa putera-puterinya dalam keseharian bertemu dan bergaul bahkan memutuskan untuk menikah dengan pengikut agama lain. Dan menjadi keprihatinan bersama kalau karenanya seorang Katolik harus meninggalkan imannya akan Gereja Katolik yang Kudus.
Gereja tidak pernah memaksa seseorang karena perkawinan harus masuk Katolik. Gereja memberikan kelonggaran hukum (dispensasi) dari Ordinaris Wilayah (Uskup) bagi mereka yang menikah dengan orang baptisan non Katolik (mixta religio=beda Gereja) maupun tidak baptis (disparitas cultus=beda agama) dan hendaknya perkawinan itu dilangsungkan dalam Gereja Katolik. Persyaratan mendapatkan dispensasi adalah 1) Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dididik dalam Gereja Katolik (kan.1125, 1°). 2) Pihak yang non-Katolik diberitahu pada waktunya mengenai janji-janji yang harus dibuat pihak Katolik, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik (kan.1125, 2°). 3) Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya (kan.1125, 3°).
Bagaimana kalau perkawinan itu dilangsungkan di Gereja lain? Perkawinan itu bukanlah sekedar hidup bersama toh, melainkan kebersamaan seumur hidup dengan sifat-hakekat yang diyakini Gereja adalah yang terbaik bagi putera-puterinya. Karena kasih yang begitu besarlah, maka Gereja menganjurkan bukan demi aturan tetapi atas dasar kasih  agar putera-puterinya yang akan melangsungkan perkawinan dengan non Katolik agar mengikuti kursus perkawinan dan penyelidikan kanonik di parokinya. Kemudian setelah itu memohonkan dispensasi dari forma canonica dalam kasus tertentu (tata peneguhan perkawinan) dari Ordinaris Wilayah dengan ketentuan yang ada.
Angelica dan Imel ytk! Bila orang-orang Katolik mengabaikan hal di atas dan melangsungkan perkawinan di agama lain dan merupakan bentuk pengingkaran imannya, kita sebut sebagai kegagalan dari pihak yang bersangkutan dan juga bagi kita bersama (orang tua, saudara, dll). Dan mereka yang secara sadar dan sengaja meninggalkan imannya akan Gereja Katolik demi perkawinan terkena hukuman ekskomunikasi (tidak masuk dalam anggota Gereja secara penuh) sampai perkawinan mereka dibereskan. Dalam KHK 1983 Kan. 1331 § 1 dikatakan bahwa orang yang terkena ekskomunikasi dilarang: 1) ambil bagian apapun sebagai pelayan dalam perayaan Kurban Ekaristi atau upacara-upacara ibadat lain manapun; 2) merayakan sakramen-sakramen atau sakramentali dan menyambut sakramen-sakramen; 3) menunaikan jabatan-jabatan atau pelayanan-pelayanan atau tugas-tugas gerejawi manapun, atau juga melakukan tindakan kepemimpinan.
Memang Gereja kita tidak punya aturan yang tegas terhadap keluarga yang mendapat kasus seperti di atas(pertanyaan Imel). Hal ini berbeda dengan agama-agama tertentu yang langsung menghukum pihak keluarga sebagai yang berdosa berat dan hukuman ini diumumkan secara publik. Sebagian besar agama di Indonesia hanya melangsungkan perkawinan dalam satu agama, tidak mengenal perkawinan campur (mixta religio dan disparitas cultus). Maka jika seorang Katolik melangsungkan perkawinan di agama lain, bisa jadi seorang Katolik sudah memeluk agama lain terlebih dahulu. Dalam kasus ini kerap kali kita tidak tahu lagi mau buat apa karena mereka beranggapan bahwa itulah cinta itu dan mengatasnamakan Tuhan 'inilah kehendak Tuhan, jodoh khan di tangan Tuhan'. Benarkah demikian?

Burung merpati terbang tinggi,
melewati kaktus dan telaga
Kalau tuan dan puan bertemu pasangan hati,

janganlah karenanya meninggalkan Kristus dan Gereja-Nya. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites