Dear BUKIT,
Saya Angelic dari Paroki St. Petrus
Claver Bkt. Saya mau bertanya: Apakah pindah agama karena menikah merupakan
sebuah dosa? Jika iya, apakah hal tersebut tergolong ke dalam dosa berat? Dan
jika memilih tidak menikah apakah termasuk ke dalam dosa? Mohon pencerahannya,
terimakasih BUKIT. Salam.
Dear BUKIT,
Saya Imel dari Paroki Petrus Claver
Bukittinggi, sekarang berdomisili di Jakarta. Saya mau bertanya sebagai
berikut: jika kita punya saudara yang menikah dengan pasangan yang beda agama,
pada saat pernikahan tidak meminta dispensasi dan semua keluarga mengikuti
acara pernikahan tersebut. Apakah benar keluarganya diberi penalty tidak boleh
menerima komuni dan penalty nya berapa lama? Apakah ada aturan menegenai
penalty-penalty yang diberikan kepada umat gereja tentang pelanggarannya?
Sebelum menjawab pertanyaan yang kalian
ajukan, terlebih dahulu saya ingin menjelaskan harapan Gereja tentang
perkawinan putra-puterinya. Menurut Gereja Katolik, perkawinan adalah
persekutuan seumur hidup antara sungguh pria dan sungguh wanita yang menurut
ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta
kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus
Tuhan diangkat ke martabat sakramen. Perkawinan tersebut sah bila memenuhi
persayaratan berikut: Pertama adalah adanya kesepakatan (konsensus) di antara
orang yang menikah. Kesepakatan ini muncul dari pengertian yang sama tentang
hakekat perkawinan yakni monogami dan tidak dapat dipisahkan seumur hidup.
Kedua adalah bebas dari halangan misalnya tidak terikat perkawinan, hubungan
darah dll. Ketiga, Perkawinan dilangsungkan sesuai dengan forma canonica,
artinya perkawinan itu berlangsung menurut ritus Gereja Katolik di hadapan
pejabat resmi Gereja (Uskup, Imam, daikon atau awam yang diberi delegasi untuk
itu) dan di hadapan dua orang saksi.
Meskipun Gereja melihat serta
menganjurkan dengan tegas bahwa hal yang terbaik bagi putera-puterinya adalah
agar melangsungkan perkawinan dengan sesama Katolik yang berdasarkan konsep
perkawinan sebagai sakramen dan karenanya tidak terceraikan. (apakah agama lain
mengerti demikian juga?). Namun Gereja juga tidak menutup mata bahwa
putera-puterinya dalam keseharian bertemu dan bergaul bahkan memutuskan untuk menikah
dengan pengikut agama lain. Dan menjadi keprihatinan bersama kalau karenanya
seorang Katolik harus meninggalkan imannya akan Gereja Katolik yang Kudus.
Gereja tidak pernah memaksa seseorang
karena perkawinan harus masuk Katolik. Gereja memberikan kelonggaran hukum
(dispensasi) dari Ordinaris Wilayah (Uskup) bagi mereka yang menikah dengan
orang baptisan non Katolik (mixta religio=beda Gereja) maupun tidak baptis
(disparitas cultus=beda agama) dan hendaknya perkawinan itu dilangsungkan dalam
Gereja Katolik. Persyaratan mendapatkan dispensasi adalah 1) Pihak Katolik
menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji
dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar
semua anaknya dididik dalam Gereja Katolik (kan.1125, 1°). 2) Pihak yang
non-Katolik diberitahu pada waktunya mengenai janji-janji yang harus dibuat
pihak Katolik, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sadar akan janji dan
kewajiban pihak Katolik (kan.1125, 2°). 3) Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan
mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh
dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya (kan.1125, 3°).
Bagaimana kalau perkawinan itu
dilangsungkan di Gereja lain? Perkawinan itu bukanlah sekedar hidup bersama toh,
melainkan kebersamaan seumur hidup dengan sifat-hakekat yang diyakini Gereja
adalah yang terbaik bagi putera-puterinya. Karena kasih yang begitu besarlah,
maka Gereja menganjurkan bukan demi aturan tetapi atas dasar kasih agar putera-puterinya yang akan melangsungkan
perkawinan dengan non Katolik agar mengikuti kursus perkawinan dan penyelidikan
kanonik di parokinya. Kemudian setelah itu memohonkan dispensasi dari forma
canonica dalam kasus tertentu (tata peneguhan perkawinan) dari Ordinaris
Wilayah dengan ketentuan yang ada.
Angelica dan Imel ytk! Bila orang-orang
Katolik mengabaikan hal di atas dan melangsungkan perkawinan di agama lain dan
merupakan bentuk pengingkaran imannya, kita sebut sebagai kegagalan dari pihak
yang bersangkutan dan juga bagi kita bersama (orang tua, saudara, dll). Dan
mereka yang secara sadar dan sengaja meninggalkan imannya akan Gereja Katolik
demi perkawinan terkena hukuman ekskomunikasi (tidak masuk dalam anggota Gereja
secara penuh) sampai perkawinan mereka dibereskan. Dalam KHK 1983 Kan. 1331 § 1
dikatakan bahwa orang yang terkena ekskomunikasi dilarang: 1) ambil bagian
apapun sebagai pelayan dalam perayaan Kurban Ekaristi atau upacara-upacara
ibadat lain manapun; 2) merayakan sakramen-sakramen atau sakramentali dan menyambut
sakramen-sakramen; 3) menunaikan jabatan-jabatan atau pelayanan-pelayanan atau
tugas-tugas gerejawi manapun, atau juga melakukan tindakan kepemimpinan.
Memang Gereja kita tidak punya aturan
yang tegas terhadap keluarga yang mendapat kasus seperti di atas(pertanyaan
Imel). Hal ini berbeda dengan agama-agama tertentu yang langsung menghukum
pihak keluarga sebagai yang berdosa berat dan hukuman ini diumumkan secara
publik. Sebagian besar agama di Indonesia hanya melangsungkan perkawinan dalam
satu agama, tidak mengenal perkawinan campur (mixta religio dan disparitas
cultus). Maka jika seorang Katolik melangsungkan perkawinan di agama lain, bisa
jadi seorang Katolik sudah memeluk agama lain terlebih dahulu. Dalam kasus ini
kerap kali kita tidak tahu lagi mau buat apa karena mereka beranggapan bahwa
itulah cinta itu dan mengatasnamakan Tuhan 'inilah kehendak Tuhan, jodoh khan
di tangan Tuhan'. Benarkah demikian?
Burung merpati terbang tinggi,
melewati kaktus dan telaga
Kalau tuan dan puan bertemu pasangan hati,
janganlah karenanya meninggalkan Kristus
dan Gereja-Nya. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar